AKU
kagum pada anak-anak Palestina di Jalur Gaza yang hidup dalam kecamuk zionis
Israel dengan terus memporak-porandakan tanah air mereka dan setiap saat
menyaksikan gelimpangan mayat berserakan. Ya Tuhan…kira-kira aku bisa tidak
mengenali diriku dengan kondisi seperti itu. Aku memang bukan anak yang terlahir dari darah
militer yang penuh kedisiplinan, bukan pula dari seorang dokter yang selalu
memperhatikan kesehatan, atau dari seorang psikolog yang memahami betul tumbuh
kembang dan kebutuhan anaknya. Bukan sama sekali. Aku adalah apa yang orang
pikirkan.
Tidak mudah bagiku
untuk berkenalan dengan diri. Dia seolah menyimpan berbagai keraguan,
ketakutan, dan ketidakberdayaan bilamana kudekati. Ada banyak sekalumit
kenangan yang menghalangiku dengan sederetan cerita dan pengalaman. Apa yang
dirasakan nurani coba kubisikkan ke alam pikiran, lalu kubujuk dia untuk
menuangkan kerak-kerak, plak-plak, atau mungkin tumpukan perak yang selama ini
tertimbun di dasar terdalam diriku. Kali ini aku mendambakan untuk menjadikan aib
sebagai shahib, sebelum waktu itu terlambat bagiku dan orang-orang semakin banyak
berpikir, kalau ‘Inilah diriku!.’
Aku
dilahirkan di tengah kondisi di mana Emak dan Ebakku menyimpan haru dan luka
yang berulang-ulang. Tujuh si buah hati yang Emak lahirkan hanya menyisakan
Ayukku yang kedua dan aku yang terakhir. Pukulan itu teramat dirasakan tatkala 2 bayi kembar yang ia
kandung meninggal lebih dulu di dalam rahim. Di sini awal kisah ingin
kuperkenalkan, inilah diriku. Aku mendapatkan kasih-sayang berlebih dari
orangtuaku atas limpahan Abang-abang dan Ayuk-ayuk yang memilih dulu menutup
usia.
Hidup dengan ekonomi morat-marit
pula yang membuat Emak, Ebak, beserta Ayuk yang saat itu sudah bersuami untuk memutuskan
pergi ke talang. Tak lebih dari 40 hari usiaku, aku pun dibawa menyeberangi
sungai Batanghari, menembus semak belukar, berjalan kiloan kilometer, dan
berdiam di tengah cengkraman hutan nan senyap. Bila kau mengenal Suku Anak
Dalam yang biasa disebut Kubu, maka dialah shahabat terdekat yang pertama kali
kukenal. Tak heran begitu kita sekeluarga menyempatkan diri untuk membeli
segala keperluan di dusun, banyak yang berpikir, inilah diriku.
Bertahun-tahun aku tumbuh dan
berkembang di dalamnya. Kedua tanganku menjadi bukti persahabatan masa kecilku,
begitu kuangkat lurus tanganku ke depan akan terlihat jelas ketidaksemestrisan itu.
Aku bermain dan berlari sangat girangnya sampai-sampai saat jatuh tak
kusadari tanganku patah dan mataku mengeluarkan airmata. Tidak jarang pula aku
menjadi fokus perhatikan bilamana ada yang menyuruh mencabut tanaman karet,
mereka seolah mendapat hiburan dari keluguan yang satu ini. Aku dihadiahkan
tepuk tangan dan senyum sumringah oleh mereka, banyak yang mulai berpikir,
inilah diriku.
Enam tahun waktu berjalan kami
kembali ke dusun. Aku dimasukkan ke sekolah dasar persis berhadapan dengan
rumahku. Walau tidak sempat diperkenalkan dengan taman kanak-kanak, mendapatkan
gizi yang cukup, dan hanya tumbuh di dalam hutan, aku memiliki prestasi akademik
yang membanggakan di sekolah. Di luar pembelajaran sekolah dasar, aku juga
melakoni kegiatan belajar mengajar pada Madrasah Ibtidaiyah dan di sini aku
juga mendapatkan peringkat kelas yang tak kalah mengagumkan. Selain bermodalkan
prestasi-prestasi tersebut aku dikenal semua orang sebagai anak yang pendiam,
tidak neko-neko, sopan, ditambah lagi kepiawaian berceramah saat usiaku baru
beranjak 9 tahun, banyak yang mulai mengalihkan pikirannya, kalau inilah
diriku.
Aku melanjutkan ke jenjang pendidikan
MTs yang ada di sebelah kampungku, namun tahun berikutnya aku pindah ke MTs
yang tahun itu juga didirikan di kampungku. Masa-masa ini aku masih dikenal
dengan sifat khasku yang pendiam dan dengan gamblengan Emak aku juga mengukir
prestasi akademik yang mencengangkan di sekolah. Remajaku yang mulai bergejolak membuat orang tua
mendikte setiap gerak-gerikku, aku tidak dapat leluasa untuk bergaul dan
berteman. Aku pun dikenal sebagai anak yang penurut dan baik walau sesekali aku
mengeluarkan emosi yang meledak seperti memukul temanku. Banyak yang mulai
heran, inilah diriku.
Tidak hanya itu aku juga
diperkenalkan dengan sifat pelupa dan penakut. Jangankan untuk mengingat sandal,
sepeda, dan bajuku yang kubawa saat bermain, mengenal nama orang-orang yang
datang ke rumah saja begitu sulit, selain itu tak tahu kenapa aku menjadi anak
yang penakut, disuruh untuk ke rumah saudara dan begitu sampai di depan pintunya
aku tak kuasa mengetok pintu dan ucapkan salam. Aku belum meyadari kenapa di
dalam karunia kepintaran yang cukup, pendiam, santun, penurut
tersimpan sifat keras kepala, temperamental, pelupa, dan juga penakut bertemu
dengan orang yang kurasa asing. Inilah diriku.
Emak menjadi orang yang selalu
memperhatikan setiap jengkal gerak kakiku dan penampilanku. Tak jarang aku
dijemput saat aku lagi asyik bersamaan dengan temanku dan saat teman bisa
memilih potongan rambut sendiri, tidak denganku. Pilihanku masih dipegang erat Emakku.
Seiring berjalanannya waktu muncul pula sifat pemalu ditambah lagi kondisiku
yang cadel alias tak bisa mengucapkan hurup ‘R’, membuat aku sering diejek-ejek
sama temanku. Aku merasa minder dengan apa yang dimiliki dan bisa dilakukan
teman-temanku. Mereka bisa bermain ke mana saja dan berpenampilan apa saja,
sedangkan aku masih berada dalam kendali Emak. Aku mulai membencihi orang tua,
terlebih Emakku, inilah diriku. Tak ada yang tahu.
Selepas menyelesaikan MTs aku
dimasukkan ke sekolah MA yang ada di Kota Jambi. Peningkatan kekuatiran yang
semakin tinggi membuat orang tua semakin ingin mendikte apa yang aku mau. Aku
dititipkan di asrama yang sama sekali tidak kuingin. Prestasiku di sekolah
mulai menurun dan aku seolah tak menikmati masa MA atau SMA yang dikenal
sebagai masa yang paling indah dan penuh kenangan. Beragam bentuk kebijakan
asrama, seperti membatasi kegiatan ekstrakurikuler dan tidak memberikan suguhan
kreatifitas membuatku semakin tertekan . Selain itu kami diberi porsi secuil
untuk bergaul dengan anak-anak di luar asrama, terutama lawan jenis, akan tetapi
di balik semua itu pembina asrama seolah terkesan membolehkan kami bertindak
keras bila ada yang tidak disenangi dengan perlakuan anak lain di luar asrama.
Aku yang sebelumnya memang sudah memiliki sifat pendiam dan temperamental, maka
dengan kondisi ini semakin bersemi, bahkan aku berada di barisan terdepan
bilamana ada tawuran dan aku tak segan menantang teman untuk berduel saat
menyeruak kekesalanku, tak peduli itu sesama anak asrama. Inilah
diriku. Banyak yang tak tahu.
Tidak banyak kisah yang bisa
kuceritakan semasa MA. Walau sebuah perjalanan yang terasa panjang, namun aku tak menikmatinya sebagai sebuah perjalanan, akan tetapi yang ada
setumpuk kekesalan dan kebencihan yang teramat dalam. Banyak orang-orang
kampung yang masih menyangkal aku dengan sifat pendiam, santun, baik, alim
seperti secara kasat mereka lihat dariku. Tapi tidak tahukah mereka, aku menyimpan
dendam pada orang tuaku. Karena itu, aku tak bersedih sekalipun Tuhan ingin
segera mengambil orang tuaku, terutama Emakku. Inilah diriku, banyak yang tak
tahu.
Tiga tahun selepas dari asrama, aku
benar-benar mengalami kebingungan untuk mengenali diriku. Saat orang tua sudah
mulai memberikan kebebasan untuk memilih kuliah, aku sendiri yang tak tahu
harus gimana. Aku hanya menerka pendapat orang lain, tak ada yang bisa
mengarahkan berdasarkan potensi yang aku miliki. Sampai pada akhirnya aku
terseret ke jurusan Keperawatan, ya tak banyak yang mengerti kenapa aku
memutuskan pilihan tersebut, termasuk diriku sendiri. Jawaban polos yang bisa
kujawab ketika hati kecilku bertanya, kenapa aku telah berani memilih
Keperawatan, dengan senyum sinis aku berkata; Keperawatan itu banyak
cewek-cewek cantik, penampilan ok, peluang kerjanya besar, tak pernah terpikirkan
olehku apakah itu bakat dan minatku, inilah diriku.
Aku menjalani perkuliahanku di
sebuah Universitas swasta, tak banyak pilihan yang kubawa saat menjejaki kaki
di Yogyakarta. Aku mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di satu
perguruan tinggi dengan satu jurusan pilihan. Tak ada yang lain, seolah pilihan
yang benar telah kusiapkan dengan amat matang. Aku memulai kuliah dengan
kondisi sangat sulit. Pertama, aku mesti membangun kemampuan untuk beradaftasi
dengan mata kuliah yang diajarkan, karena sebelumnya hanya mendapati pelajaran
yang bermaterikan agama. Kedua, aku mesti membangun kebiasaan untuk bergaul termasuk
dengan lawan jenis, karena sebelumnya dibatasi untuk bergaul. Ketiga, aku mesti
membangun kepercayaan diri untuk melawan diri, karena pengalaman masa lalu
sungguh masih menyisakan sifat pendiam, pemalu, penakut, sensitif, dan
pendendam. Dan terakhir yang teramat sulit bagiku adalah mengontrol diri untuk
tidak mudah marah dan tersinggung. Banyak yang masih tetap berpikir aku anak
yang baik, alim, santun, dan pintar, tapi sebenarnya bukanlah diriku. Inilah
diriku.
Di akhir cerita ingin kukatakan sejujurnya; Emak, Ebak maafkan anakmu yang tak mengerti tentang semua ini. Tanpamu aku tak mungkin mencintai tulisan dan mampu merangkai cerita sambil belajar mengenali diri. Aku ingin kau selalu hidup dalam tulisanku.
Di akhir cerita ingin kukatakan sejujurnya; Emak, Ebak maafkan anakmu yang tak mengerti tentang semua ini. Tanpamu aku tak mungkin mencintai tulisan dan mampu merangkai cerita sambil belajar mengenali diri. Aku ingin kau selalu hidup dalam tulisanku.
Hampir empat tahun sudah anakmu
mengenali banyak teman dengan berbagai latar belakang serta menjalani
perkuliahan yang bukan latar belakang. Kini justru terlihat kebalikannya, anakmu
tampak sebagai anak yang sering berkicau, bukan lagi pendiam. Aku tak lagi mengenal
rasa malu atau penakut, akan tetapi lebih terlihat dengan gaya yang terkesan
sok-sokan dan kemayu, bahkan kealiman dan kesantunan yang kau ajarkan seakan mulai pudar. Aku mulai nyaman Emak, inilah diriku. Sebuah pertanyaan pada banyak orang, INIKAH DIRIKU?.
Yogyakarta, 21-22 Januari 2013
di antara tujuan refleksi mengenal diri sendiri adalah menerima diri secara apa adanya, bagaimana pun kondisinya. dengan begitu, hati kita menjadi damai. kita tidak membenci dan mengutuk diri sendiri terus-menerus. dan kedamaian hati ini adalah modal untuk memperbaiki diri. dan kita perlu ingat bahwa mengenal diri adalah cara untuk mengenal Tuhan. ada hadits yang sangat populer: man 'arofa nafsahu faqod 'arofa robbahu.
BalasHapusberharap bisa berkenalan dengan diri. belajar tidak munafik di depan banyak orang. saya rasa ada banyak motif lain yang mendikte tingkah dan sikap selama ini. termasuk terhadap orang tua dan Tuhan, saya merasa sudah melakukan kebohongan besar-besaran. kebutuhan itu belum saya dapatkan.
BalasHapus