Selasa, 22 Januari 2013

Banyak yang Berpikir; Kalau Inilah Diriku…!



            AKU kagum pada anak-anak Palestina di Jalur Gaza yang hidup dalam kecamuk zionis Israel dengan terus memporak-porandakan tanah air mereka dan setiap saat menyaksikan gelimpangan mayat berserakan. Ya Tuhan…kira-kira aku bisa tidak mengenali diriku dengan kondisi seperti itu.  Aku memang bukan anak yang terlahir dari darah militer yang penuh kedisiplinan, bukan pula dari seorang dokter yang selalu memperhatikan kesehatan, atau dari seorang psikolog yang memahami betul tumbuh kembang dan kebutuhan anaknya. Bukan sama sekali. Aku adalah apa yang orang pikirkan.
Tidak mudah bagiku untuk berkenalan dengan diri. Dia seolah menyimpan berbagai keraguan, ketakutan, dan ketidakberdayaan bilamana kudekati. Ada banyak sekalumit kenangan yang menghalangiku dengan sederetan cerita dan pengalaman. Apa yang dirasakan nurani coba kubisikkan ke alam pikiran, lalu kubujuk dia untuk menuangkan kerak-kerak, plak-plak, atau mungkin tumpukan perak yang selama ini tertimbun di dasar terdalam diriku. Kali ini aku mendambakan untuk menjadikan aib sebagai shahib, sebelum waktu itu terlambat bagiku dan orang-orang semakin banyak berpikir, kalau ‘Inilah diriku!.’
            Aku dilahirkan di tengah kondisi di mana Emak dan Ebakku menyimpan haru dan luka yang berulang-ulang. Tujuh si buah hati yang Emak lahirkan hanya menyisakan Ayukku yang kedua dan aku yang terakhir. Pukulan itu teramat  dirasakan tatkala 2 bayi kembar yang ia kandung meninggal lebih dulu di dalam rahim. Di sini awal kisah ingin kuperkenalkan, inilah diriku. Aku mendapatkan kasih-sayang berlebih dari orangtuaku atas limpahan Abang-abang dan Ayuk-ayuk yang memilih dulu menutup usia.
            Hidup dengan ekonomi morat-marit pula yang membuat Emak, Ebak, beserta Ayuk yang saat itu sudah bersuami untuk memutuskan pergi ke talang. Tak lebih dari 40 hari usiaku, aku pun dibawa menyeberangi sungai Batanghari, menembus semak belukar, berjalan kiloan kilometer, dan berdiam di tengah cengkraman hutan nan senyap. Bila kau mengenal Suku Anak Dalam yang biasa disebut Kubu, maka dialah shahabat terdekat yang pertama kali kukenal. Tak heran begitu kita sekeluarga menyempatkan diri untuk membeli segala keperluan di dusun, banyak yang berpikir, inilah diriku.
        Bertahun-tahun aku tumbuh dan berkembang di dalamnya. Kedua tanganku menjadi bukti persahabatan masa kecilku, begitu kuangkat lurus tanganku ke depan akan terlihat jelas ketidaksemestrisan itu. Aku bermain dan berlari sangat girangnya sampai-sampai saat jatuh tak kusadari tanganku patah dan mataku mengeluarkan airmata. Tidak jarang pula aku menjadi fokus perhatikan bilamana ada yang menyuruh mencabut tanaman karet, mereka seolah mendapat hiburan dari keluguan yang satu ini. Aku dihadiahkan tepuk tangan dan senyum sumringah oleh mereka, banyak yang mulai berpikir, inilah diriku.
            Enam tahun waktu berjalan kami kembali ke dusun. Aku dimasukkan ke sekolah dasar persis berhadapan dengan rumahku. Walau tidak sempat diperkenalkan dengan taman kanak-kanak, mendapatkan gizi yang cukup, dan hanya tumbuh di dalam hutan, aku memiliki prestasi akademik yang membanggakan di sekolah. Di luar pembelajaran sekolah dasar, aku juga melakoni kegiatan belajar mengajar pada Madrasah Ibtidaiyah dan di sini aku juga mendapatkan peringkat kelas yang tak kalah mengagumkan. Selain bermodalkan prestasi-prestasi tersebut aku dikenal semua orang sebagai anak yang pendiam, tidak neko-neko, sopan, ditambah lagi kepiawaian berceramah saat usiaku baru beranjak 9 tahun, banyak yang mulai mengalihkan pikirannya, kalau inilah diriku.
            Aku melanjutkan ke jenjang pendidikan MTs yang ada di sebelah kampungku, namun tahun berikutnya aku pindah ke MTs yang tahun itu juga didirikan di kampungku. Masa-masa ini aku masih dikenal dengan sifat khasku yang pendiam dan dengan gamblengan Emak aku juga mengukir prestasi akademik yang mencengangkan di sekolah. Remajaku  yang mulai bergejolak membuat orang tua mendikte setiap gerak-gerikku, aku tidak dapat leluasa untuk bergaul dan berteman. Aku pun dikenal sebagai anak yang penurut dan baik walau sesekali aku mengeluarkan emosi yang meledak seperti memukul temanku. Banyak yang mulai heran, inilah diriku.
            Tidak hanya itu aku juga diperkenalkan dengan sifat pelupa dan penakut. Jangankan untuk mengingat sandal, sepeda, dan bajuku yang kubawa saat bermain, mengenal nama orang-orang yang datang ke rumah saja begitu sulit, selain itu tak tahu kenapa aku menjadi anak yang penakut, disuruh untuk ke rumah saudara dan begitu sampai di depan pintunya aku tak kuasa mengetok pintu dan ucapkan salam. Aku belum meyadari kenapa di dalam karunia kepintaran yang cukup, pendiam, santun, penurut tersimpan sifat keras kepala, temperamental, pelupa, dan juga penakut bertemu dengan orang yang kurasa asing. Inilah diriku.
            Emak menjadi orang yang selalu memperhatikan setiap jengkal gerak kakiku dan penampilanku. Tak jarang aku dijemput saat aku lagi asyik bersamaan dengan temanku dan saat teman bisa memilih potongan rambut sendiri, tidak denganku. Pilihanku masih dipegang erat Emakku. Seiring berjalanannya waktu muncul pula sifat pemalu ditambah lagi kondisiku yang cadel alias tak bisa mengucapkan hurup ‘R’, membuat aku sering diejek-ejek sama temanku. Aku merasa minder dengan apa  yang dimiliki dan bisa dilakukan teman-temanku. Mereka bisa bermain ke mana saja dan berpenampilan apa saja, sedangkan aku masih berada dalam kendali Emak. Aku mulai membencihi orang tua, terlebih Emakku, inilah diriku. Tak ada yang tahu.
            Selepas menyelesaikan MTs aku dimasukkan ke sekolah MA yang ada di Kota Jambi. Peningkatan kekuatiran yang semakin tinggi membuat orang tua semakin ingin mendikte apa yang aku mau. Aku dititipkan di asrama yang sama sekali tidak kuingin. Prestasiku di sekolah mulai menurun dan aku seolah tak menikmati masa MA atau SMA yang dikenal sebagai masa yang paling indah dan penuh kenangan. Beragam bentuk kebijakan asrama, seperti membatasi kegiatan ekstrakurikuler dan tidak memberikan suguhan kreatifitas membuatku semakin tertekan . Selain itu kami diberi porsi secuil untuk bergaul dengan anak-anak di luar asrama, terutama lawan jenis, akan tetapi di balik semua itu pembina asrama seolah terkesan membolehkan kami bertindak keras bila ada yang tidak disenangi dengan perlakuan anak lain di luar asrama. Aku yang sebelumnya memang sudah memiliki sifat pendiam dan temperamental, maka dengan kondisi ini semakin bersemi, bahkan aku berada di barisan terdepan bilamana ada tawuran dan aku tak segan menantang teman untuk berduel saat menyeruak kekesalanku, tak peduli itu sesama anak asrama. Inilah diriku. Banyak yang tak tahu.            
            Tidak banyak kisah yang bisa kuceritakan semasa MA. Walau sebuah perjalanan yang terasa panjang, namun aku tak menikmatinya sebagai sebuah perjalanan, akan tetapi yang ada setumpuk kekesalan dan kebencihan yang teramat dalam. Banyak orang-orang kampung yang masih menyangkal aku dengan sifat pendiam, santun, baik, alim seperti secara kasat mereka lihat dariku. Tapi tidak tahukah mereka, aku menyimpan dendam pada orang tuaku. Karena itu, aku tak bersedih sekalipun Tuhan ingin segera mengambil orang tuaku, terutama Emakku. Inilah diriku, banyak yang tak tahu.
            Tiga tahun selepas dari asrama, aku benar-benar mengalami kebingungan untuk mengenali diriku. Saat orang tua sudah mulai memberikan kebebasan untuk memilih kuliah, aku sendiri yang tak tahu harus gimana. Aku hanya menerka pendapat orang lain, tak ada yang bisa mengarahkan berdasarkan potensi yang aku miliki. Sampai pada akhirnya aku terseret ke jurusan Keperawatan, ya tak banyak yang mengerti kenapa aku memutuskan pilihan tersebut, termasuk diriku sendiri. Jawaban polos yang bisa kujawab ketika hati kecilku bertanya, kenapa aku telah berani memilih Keperawatan, dengan senyum sinis aku berkata; Keperawatan itu banyak cewek-cewek cantik, penampilan ok, peluang kerjanya besar, tak pernah terpikirkan olehku apakah itu bakat dan minatku, inilah diriku.
            Aku menjalani perkuliahanku di sebuah Universitas swasta, tak banyak pilihan yang kubawa saat menjejaki kaki di Yogyakarta. Aku mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di satu perguruan tinggi dengan satu jurusan pilihan. Tak ada yang lain, seolah pilihan yang benar telah kusiapkan dengan amat matang. Aku memulai kuliah dengan kondisi sangat sulit. Pertama, aku mesti membangun kemampuan untuk beradaftasi dengan mata kuliah yang diajarkan, karena sebelumnya hanya mendapati pelajaran yang bermaterikan agama. Kedua, aku mesti membangun kebiasaan untuk bergaul termasuk dengan lawan jenis, karena sebelumnya dibatasi untuk bergaul. Ketiga, aku mesti membangun kepercayaan diri untuk melawan diri, karena pengalaman masa lalu sungguh masih menyisakan sifat pendiam, pemalu, penakut, sensitif, dan pendendam. Dan terakhir yang teramat sulit bagiku adalah mengontrol diri untuk tidak mudah marah dan tersinggung. Banyak yang masih tetap berpikir aku anak yang baik, alim, santun, dan pintar, tapi sebenarnya bukanlah diriku. Inilah diriku.
              Di akhir cerita ingin kukatakan sejujurnya; Emak, Ebak maafkan anakmu yang tak mengerti tentang semua ini. Tanpamu aku tak mungkin mencintai tulisan dan mampu merangkai cerita sambil belajar mengenali diri. Aku ingin kau selalu hidup dalam tulisanku.   
            Hampir empat tahun sudah anakmu mengenali banyak teman dengan berbagai latar belakang serta menjalani perkuliahan yang bukan latar belakang. Kini justru terlihat kebalikannya, anakmu tampak sebagai anak yang sering berkicau, bukan lagi pendiam. Aku tak lagi mengenal rasa malu atau penakut, akan tetapi lebih terlihat dengan gaya yang terkesan sok-sokan dan kemayu, bahkan kealiman dan kesantunan yang kau ajarkan seakan mulai pudar. Aku mulai nyaman Emak, inilah diriku. Sebuah pertanyaan pada banyak orang, INIKAH DIRIKU?.


          
Yogyakarta, 21-22 Januari 2013
             

2 komentar:

  1. di antara tujuan refleksi mengenal diri sendiri adalah menerima diri secara apa adanya, bagaimana pun kondisinya. dengan begitu, hati kita menjadi damai. kita tidak membenci dan mengutuk diri sendiri terus-menerus. dan kedamaian hati ini adalah modal untuk memperbaiki diri. dan kita perlu ingat bahwa mengenal diri adalah cara untuk mengenal Tuhan. ada hadits yang sangat populer: man 'arofa nafsahu faqod 'arofa robbahu.

    BalasHapus
  2. berharap bisa berkenalan dengan diri. belajar tidak munafik di depan banyak orang. saya rasa ada banyak motif lain yang mendikte tingkah dan sikap selama ini. termasuk terhadap orang tua dan Tuhan, saya merasa sudah melakukan kebohongan besar-besaran. kebutuhan itu belum saya dapatkan.

    BalasHapus